Langsung ke konten utama

Jejaring Muhammad


Jejaring Muhammad

::Proses Kreatif Tasaro GK dalam Menulis Novel Muhammad::



“I said: TIDUR!”

Itu SMS yang saya terima pukul 00:55, semalam. Seseorang mulai sebal karena saya masih asyik dengan Facebook. Saya mengiyakan omelannya, tapi sedikit berbohong. Sebab, sekian jam setelahnya saya baru tertidur. Itu pun dengan ketakutan. Kepala saya seperti digerayangi kengerian. Merinding. Seperti ada yang memerhatikan saya. Sumpah, ini bukan soal Jin Tomang, Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan pasukannya. Ini lebih… spiritual. Saya seperti merasakan kehadiran Tuhan. Apa pun itu. Media apa pun itu. Ini benar-benar sangat spiritual. Mengerikan namun juga menenangkan.

Semua bermula dari kementokan. Saya tidak sanggup bergerak setelah novel itu sampai di halaman folio 252 spasi satu. Ada yang salah. Saya tahu ada yang salah. Menuliskan kisah Muhammad Saw. bukan sekadar mengumpulkan sudut pandang Haikal, Martin Lings, Tariq Ramadhan, Karen Armstrong, Ibnu Hisyam dan para penulis yang memahat namanya pada dinding sejarah Muhammad. Tidak. Bukan sesederhana itu. Sebab, saya telah melakukannya dan tetap saja merasa ada yang salah.

Semalam, sampai pukul 00:00 editor saya bertandang ke rumah. Sedari magrib kami berbincang banyak. Dia pemuda fantastik yang sudah tidak butuh pujian. Orang memanggilnya filsuf muda, saya menjulukinya santri gaul.

“Apa yang akan kita bahas malam ini?” tanyanya.

Saya tahu dia bingung. Naskah saya belum berkembang. Padahal penerbit ingin naskah ini sudah launching Januari mendatang. Saya katakan kepadanya, saya merasa ada yang salah. Kami kemudian sedikit sekali berbicara tentang teknis naskah. Kami lebih banyak berbincang tentang hidup dan tentang Muhammad.

Dia meyakinkan saya, tidak ada yang kebetulan. Kami saling mengenal sungguh dengan cara unik. Saya tahu dia, dia tahu saya. Tapi kami belum pernah bertemu. Hingga ada seseorang yang membuat kami tak sanggup lagi menampik “jejaring” itu; kami memang harus saling mengenal. Sebelum penerbit meminta dia menjadi editor saya, sudah sejak lama saya memintanya secara pribadi. Dulu dia selalu menolak. Tiga kali saya minta, tiga kali dia menolak.

Ini tentang Muhammad saw.

Setelah berbulan-bulan saya menggeluti segala literatur tentang Muhammad Saw, saya merasa menyerah. Tak sanggup lagi. Saya merasa tidak terkait dengan Rasulullah. Terkait secara emosional. Yang saya lakukan hanyalah memfiksikan kisah hidupnya. Itu tidak cukup. Saya benar-benar menyerah. Salman Faridi, petinggi penerbit itu salah orang ketika mendatangi saya dan meminta saya menulis novel tentang Muhammad Saw.

Salah orang. Saya ini Muslim yang payah sekali. Kualitas keimanan saya belum juga membaik. Saya kadang terlalu rasional. Tidak merasa terkait dengan Tuhan. Shalat sekadarnya saja. Doa tidak dibarengi percaya. Ini benar-benar kecelakaan. Salman salah orang.

Malam tadi, ketika sang editor: Fahd Djibran, pamitan, saya berkata, seperti pembuat keris, tampaknya saya butuh sebuah “ritual” khusus. Entah apa itu. Sesuatu yang membuat saya yakin untuk menyelesaikan proyek ini.

Setelah dia benar-benar pulang, saya merenung. Apa sebenarnya yang terjadi pada saya? Sejak kecil saya selalu meyakini Allah dengan cara sendiri. Lingkungan tidak menjanjikan sebuah pemahaman tauhid yang paripurna. Tapi saya tahu, saya terjaga. Entah bagaimana bisa. Bahkan saya cuma sesekali ikut TPA. Saya bisa membaca hijaiyah umur 22. Sangat terlambat. Tapi entah bagaimana, saya merasa terjaga. Saya tidak menjadi penyembah keris, pohon, atau klenik lainnya. Saya percaya Allah. Saya menolak makan darah goreng, saya menghindari yang diharamkan. Begitu saja. Tanpa ilmu sama sekali.

Kemudian waktu berjalan cepat. Saya bertumbuh. Sisi spiritual saya tidak tertatah. Maksiat … oh … maksiat. Mungkinkah itu yang membangun tembok antara saya dan Tuhan. Saya tetap sadar Dia mengelilingi saya dengan “matanya”. Tapi saya tidak terlalu peduli. Saya malas belajar lagi untuk mendekati-Nya. Saya hanya menggulirkan hari-hari. Saya tahu saya religious. Minimal sebagai pengarang, saya tidak menulis dengan gaya Fredy S atau model Nick Carter (bacaan saya waktu SMP). Tapi religiusitas itu sampai di situ saja. Sampai pada tahap, saya tidak mau panen royalti di akhirat nanti. Royalti keburukan. Tidak lebih dari itu.

Saya berpikir lagi. Ada apa dengan saya? Ini kesalahan besar. Orang semacam saya, mengapa menulis tentang Muhammad Saw.? Siapa saya? Saya bentangkan lagi apa pun yang pernah terjadi pada hidup saya. Perlahan namun pasti, saya merasa ada keanehan-keanehan. Iseng saya mengecek koleksi buku saya. TIga buku tentang Muhammad saw. saya ambil. Sekadar pengin tahu, saya mengecek halaman awalnya. Dulu saya punya kebiasaan mencatatkan tanggal bulan dan tahun membeli buku.

Seketika saya merasa ada yang tidak biasa. Tiga buku itu: Muhammad Sang Pembebas, saya beli tanggal 12 November 2003, Muhammad Sang Nabi tanggal 14 November, dan Dialah Muhammad pada 20 November 2003. Dahi saya pasti berkerut. Saya merasa tidak akrab dengan Rasulullah, tidak terkoneksi dengan baik, tidak mengenalnya. Namun, bagaimana mungkin enam tahun lalu, dalam sebulan saya membeli tiga buku tentang beliau? Jeda pembelian buku itu memperlihatkan sebuah antusiasme. Tiga buku itu pun sudah sangat lusuh. Artinya saya tidak membelinya sebagai koleksi. Saya benar-benar membacanya. Jadi, enam tahun lalu saya pernah begitu jatuh cinta kepada Muhammad saw. Sesuatu yang selama bertahun-tahun kemudian mengering. Bahkan saya lupa pernah begitu penasaran terhadap dirinya.

“Keanehan “ itu lalu saya beritahukan kepada Fahd melaui sms. Dia membalas dengan sebuah perintah yang membuat saya shock. “Masih ingat diskusi kita tentang cahaya Tuhan yang ditampakkan kepada Musa? Bacalah surat Thaha/Muhammad (20) ayat 12 dan 14, malam ini juga. Lihat maknanya. Perhatikan konfigurasi angkanya. Tidak ada peristiwa yg kebetulan, bukan?

Saya belum mandi. Belum berwudhu. Merasa kotor. Tapi saya tidak peduli. Saya raih Qur’an lalu mencari dua ayat itu.

Sungguh , Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah suci, Tuwa" (QS 20:12)

Sungguh aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku." (QS 20:14)

Perlahan tapi sangat pasti, saya merasa ada yang menggerayangi kulit kepala saya. Merinding bukan main. Sedikit histeris ketika akhirnya sadar, angka-angka itu! 12 ... 14 ... 20. Tanggal-tanggal itu!

Setelah saya curhat tentang tembok antara saya dengan Tuhan, tidak ada koneksi antara saya dengan Rasulullah, seperti seketika ayat-ayat itu disorongkan ke depan mata saya. “LEPASKAN TEROMPAHMU!” Lepaskan duniamu, logikamu, rasionalitasmu, kesombonganmu! (saat menuliskan ini, air mata saya meleleh, tangis saya muncrat dengan suara jelek sekali)

Kita tidak pernah tahu apa yang menggerakkan Mas Tasaro membeli buku-buku tentang Muhammad pada tanggal 12, 14, dan 20 dalam satu bulan yang sama. Aku juga tidak tahu (si)apa yg menggerakkanku untuk membuka Qur’an surat 20 ayat 12 dan 14 dan menyarankanmu membacanya.

Itu SMS dari Fahd setelah saya mengabarinya sesuatu yang jarang terjadi, “Fahd, akhirnya aku menangis!

Setelah detik itu lalu saya mengurai lagi apa yang sebenarnya telah mengantar saya ke hari ini. Sebuah jejaring raksasa yang memusat pada sebuah nama, sebuah konsep, sebuah keagungan: MUHAMMAD. Yah … ini semua… 29 tahun ini…semua sedang menuju sebuah titik: MUHAMMAD.

Saya tidak mengenalnya dengan baik tapi hanya karena suka menyanyi, saya bergabung dengan tim nasyid kampus untuk bershalawat. Meninggalkan Jogja, pergi ke Bogor, saya menjadi wartawan dan mengenal seorang mahasiswa yang nyambi menjaga warung dorong yang menceritakan kepada saya sedikit tentang Muhammad. Dia berjualan di depan lorong kamar mayat Rumah Sakit PMI, tempat ngetem saya setiap hari. Saya buta huruf Arab, tapi saya kemudian mendaftar ke kampus syariah karena mahasiswa bernama Ahmad Sulaiman itu dan lebih tahu banyak tentang ajaran Muhammad setelahnya. Pada sela reportase, saya selalu mampir ke konter Fatahillah hanya untuk mendengarkan “Madah Rasul” Daang Faturrahman dan Iwan Abdurrahman. Iseng baca buku-buku Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Sakti Wibowo, Mutmainah… tanpa berpikir suatu saat saya menjadi penulis buku … seperti mereka.

Kuliah saya tidak selesai, dan saya harus pergi ke Bandung. Kesal, tapi saya jalani juga. Di Bandung, liputan terheboh saya tentang IPDN. Pak Inu Kencana mendatangi media pertama kali ke Radar Bandung, koran tempat saya bekerja. Heboh kasus Wahyu Hidayat berawal di sini. Saya kemudian kenal dekat dengan Pak Inu selama kasus itu bergulir. Namun, tidak lagi setelah kasusnya dilupakan orang. Saya mulai mengenal dunia penulisan buku. Itu pun karena iseng. Saya menjadi redaktur pelaksana ketika wartawan saya membuat liputan tentang penerbit Mizan dan Syaamil. Beberapa pekan kemudian, saya menitipkan naskah novel saya kepada wartawan itu. Dua novel saya kemudian terbit di kedua penerbit itu. Samita, novel yang kemudian terbit di Mizan, dibidani tiga editor di penerbit itu: Salman Iskandar, Saman Faridi, dan Ali Muakhir. Mas Ali dan Kang Salman Iskandar menulis banyak buku tentang Muhammad saw dan keluarganya. Kebanyakan buku anak. Saya dihadiahi selalu setiap judul satu buku. Keduanya lalu bekerja di kantor yang sama dengan saya. Sedangkan Kang SALMAN FARIDI, tak sempat saya mengenalnya. Dia ditugaskan mengurus Bentang Pustaka di Jogja sebelum Samita terbit. (belakangan saya baru tahu, jejaring dengan Kang Faridi di mulai pada waktu itu)

Setahun kemudian saya mendaftar menjadi editor Syaamil. Nama Muhammad berseliweran lewat berbagai judul buku dan lisan orang-orang di penerbit ini. Termasuk buku-buku Kang Ali Muakhir. Saya masih tidak merasakan kehadiran Muhammad sampai pada tahap itu. Ketika itu, IPDN heboh lagi. Clift Muntu meninggal akibat kekerasan. Saya pun memburu Pak Inu lagi. Kami bertemu. Saya tidak lagi memintanya jadi narasumber berita. Saya memintanya menulis buku. Lahirlah IPDN Undercover. Sejak itu kami nyaris tidak terpisahkan. Saya baru tahu sisi spiritual Pak Inu sangat kental. Dia berulang kali bicara tentang Muhammad. Saya masih mendengarkannya selewat-selewat.

Saya keluar dari Syaamil 2007, lalu bergabung dengan Salamadani. Saya menjadi editor penyeleksi naskah. Tulisan seorang pelajar SMA bernama FAHD DJIBRAN membuat saya merinding. Toh saya tidak bisa menerbitkannya. Beberapa orang menilainya terlalu berat. Saya tidak pernah benar-benar mengenal Fahd. Saya lalu sibuk dengan naskah-naskah lain. Tak terkecuali naskah bertema Muhammad karya Pak BAMBANG TRIMANSYAH. Bussines Wisdom of Muhammad saw., Brilliant Entrepreneur of Muhammad saw, dan Brilliant Leader of Muhammad saw. Saya mengedit naskahnya, membaca bukunya, menjadi moderator acara bedah bukunya, menyimak setiap ceramah penulisnya. Tapi tetap saja, saya menempatkannya sebagai ilmu, bagian dari ilmu perbukuan dan penerbitan yang perlahan saya cerap dari Pak Bambang; guru dan trainer saya selama ini. Sebatas itu saja. Pada waktu bersamaan, saya kembali bertemu Pak Inu. Kami bicara tentang training motivasi.Saya membantunya untuk mengonsep training itu. Titik training yang beliau kembangkan adalah: Muhammad. How come? Saya menyertai Pak Inu dalam beberapa kali training, sebelum akhirnya saya mundur karena kesibukan.

Sebagai editor, suatu kali, saya mendapat telepon dari Mbak Rahmadianti Rusdi pengurus FLP. Dia menawarkan naskah teman-teman FLP Amerika yang digawangi Mbak Medya Derni. Saya lalu kontak dengan Mbak Me. Naskahnya sangat inspiratif. Kisah-kisah Muslim di Amerika. Salah satunya ditulis oleh Mbak Ari Peach. Judulnya tulisan Mbak Ari: Jilbab dalam Pelukan Amerika. Dia menulis kisah tentang seorang TKW di Amerika. Kisah yang menginspirasi saya untuk menuliskan novel GALAKSI KINANTHI. Novel itu yang mempertemukan saya dengan Salman Faridi dalam bedah bukunya di Jogja.

Berbulan-bulan kemudian, Kang Faridi yang memimpin penerbit Bentang Pustaka menghubungi saya untuk menuliskan kisah Muhammad dalam bentuk fiksi. Saya menolaknya berkali-kali tapi akhirnya mau memulainya.

Galaksi Kinanthi membuat keajaiban-keajaiban lain. Seseorang dari seberang pulau, penulis dari Toraja bernama Rampa Maega membacanya. Dia membaca buku itu dengan setengah hati. Membelinya hanya karena dia tak menemukan novel Langit Krisna Hariyadi. Tapi yang terjadi kemudian, menakjubkan. Dia terkesan dengan buku itu. Lalu dia mencari tahu siapa penulisnya. Kami berkenalan di FB. Dia mendatangi saya dengan segala keingintahuan tentang dunia kepenulisan. Kami bersahabat. Dia seorang pengikut Yesus namun mencintai Muhammad saw.Seperti saya yang mengimani ajaran Muhammad tetapi juga mencintai Yesus. Diskusi Islam-Kristen antara kami sangat mewarnai teks naskah Muhammad pada waktu selanjutnya. Kritikannya kadang membuat saya berpikir dia lebih mencintai Muhammad dibanding saya.

Lewat Rampa inilah nama seseorang selalu terlisan dalam hampir setiap perbincangan teologi kami. FAHD DJIBRAN! Sebelum membaca buku saya, Rampa lebih dulu membaca buku dan pemikiran Fahd. Bahkan mereka sering berdiskusi di Jogja. Penasaran. Nama itu pernah ada di meja saya bertahun-tahun lalu. Saya tahu Fahd, tapi belum pernah bertemu. Ingin bertatap muka. Ingin banyak bicara. Sesuatu yang mengantarkan kami dalam sebuah perbincangan panjang di sebuah tempat nongkrong di Yogjakarta. Saya, Rampa, dan Fahd yang ditemani beberapa sahabatnya. Kami membincangkan banyak hal, tapi lebih banyak tentang MUHAMMAD.

Lalu, saya menawarinya untuk menjadi editor buku saya itu. Dia menolak. Saya minta lagi. Dia menolak. Berkali-kali. Hingga suatu hari yang aneh, Kang Faridi menelepon saya, usul agar Fahd yang menjadi editor buku saya. Jejaring itu sedang bekerja!

Saya mantap dan sedikit tenang karena Fahd bergabung dalam tim itu. Tapi, saya masih belum merasa terkoneksi dengan Muhammad. Ini hanyalah tentang bagaimana menulis sebuah buku yang baik. Melibatkan banyak pihak agar lebih kecil kemungkinan kesalahan.

Hingga saya mengisi sebuah pelatihan menulis di Salam Book House. Seorang peserta bernama Tutik Hasanah mengenalkan dirinya. Beberapa hari kemudian dia mengirim pesan lewat FB. Dia ingin menjadi pembaca pertama naskah Muhammad saya.Beliau seorang pengajar Qur’an, penghafal Qur’an, dan tahu banyak tentang Sirah Nabawiyah. Dan, naskah saya ketahuan banyak bolongnya berkat ketelitian beliau. Saya sangat berterima kasih karenanya. Sampai di sini saya masih merasa, ini hanyalah tentang bagaimana membuat naskah yang minim kesalahan. Tidak lebih dari itu.

Sampai malam tadi. Ketika saya seketika tersadar. BUKA MATAMU! Ini bukan serangkaian kebetulan yang tidak berarti apa-apa. Ini jejaring raksasa yang memusat pada satu kata, satu nama, satu konsep, satu kemuliaan: MUHAMMAD. Jadi selama bertahun-tahun ini saya dibimbing menuju titik ini. Mengapa harus saya yang bodoh ini, mengapa bukan orang lain! Mengapa Kang Faridi meminta saya, bukan penulis religius yang sudah teruji? Mengapa dari ribuan penulis di negeri ini, saya yang tidak tahu diri dan nekat menuliskan kisah Muhammad saw? Bahkan, di antara begitu banyak nama yang ada di kepala, saya memilih HIMADA untuk nama belakang anak saya. HIMADA: YANG TERPUJI: MUHAMMAD. Mengapa? Mengapa? Mengapa?

Saya menangis lagi. Masih dengan suara yang jelek sekali. Mungkin ini jawaban doa saya dulu, “Ya Allah, saya banyak dosa. Jangan matikan saya sebelum Kau terima taubatku dan lunasi semua hutang-hutangku. Rabb-ku, pertemukan hamba dengan pertobatan yang indah. Bukan peringatan yang menyakitkan. Tampar hamba dengan cara yang menyejukkan.”

Seketika, saya bertanya, lalu bagaimana saya belum juga mau membuka mata? Ini yang saya inginkan. “Pertemuan” dengan Tuhan. Ini yang saya inginkan. Kedekatan dengan manusia mulia sepanjang zaman: Muhammad saw. Tak perlu alasan lain. Tidak penting lagi apakah angka-angka yang mengantar saya pada kesadaran itu hanya kebetulan. Tidak penting lagi. Sebab, tiba-tiba saya menemukan alasan, mengapa saya harus menuliskan kisah Muhammad saw dalam buku saya ini. Sebab, ini hanyalah bagian kecil dari jejaring yang telah dibentangkan sejak lama. Sejak kehidupan ini tercipta. Sedikit terasa seperti tasawuf. Tapi saya semakin percaya.

Ya, Rasul … lumpuh aku karena rindu!

25 Oktober 2009,
Tasaro GK


***

keren bangeeet novelnya coy !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ornamen Matahari

Salah satu contoh Ornamen Matahari di Lapangan Merdeka, Ambon (photo by clk7) Bagi yang pernah berkunjung atau tinggal di Maluku, pasti akrab dengan gambar dan corak seperti gambar di atas. Ya, ornamen tersebut mulai banyak digunakan pada beberapa bangunan maupun produk lokal Maluku, dengan beragam corak dan bentuk. Namun masih banyak orang, bahkan orang Maluku sendiri, yang belum mengetahui makna dan nilai filosofis yang terkandung di balik ornamen tersebut. Ornamen Matahari, dilambangkan sebagai simbol matahari yang di dalamnya memiliki makna simbolis keyakinan, pola pikir, norma, adat istiadat, dan tata nilai masyarakat Maluku, khususnya suku Alifuru di Pulau Seram.  Di masa lalu, ornamen matahari digunakan untuk tanda dekorasi pada tubuh pada saat upacara kakehan (ritual pemanggilan arwah), sesuai dengan latar belakang, kebudayaan, adat-istiadat dan tata kehidupan alam lingkungan, masyarakat Patasiwa Alifuru. Salah satu bukti bahwa ornamen ini sudah dikenal cukup lama, da

Lantern Festival

kalian pernah nonton film 'Tangled'? pasti tahu kan adegan pas Rapunzel sama Flynn lagi diatas perahu di tengah danau, sementara orang-orang di istana lagi melepaskan ribuan lentera cantik ke atas langit dengan harapan si Putri Rapunzel kembali ke istana. hwaa, sumpah...that's the best scene EVER!! kereen banget >.< pertamanya, gw kira acara 'lepas lentera' kayak gitu cuma ada di kartun doang. ternyata eh ternyata, di dunia nyata ini emang beneran ada lho. bahkan dijadiin festival! *terpukau* ya, namanya Lantern Festival atau yang biasa disebut Festival Lentera. festival ini merupakan acara menerbangkan lentera ke atas langit dengan tujuan mengharapkan hal-hal baik yang akan terjadi dalam hidup. festival kayak gini digelar di berbagai negara, seperti Cina, Taiwan, Inggris, Thailand, bahkan Indonesia. cuma bentuk kegiatannya aja yang agak beda. kalau di Cina atau Taiwan, festival ini digelar pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender Tiongk

Menuju Perut Besar (Gunung Lompobattang)

"Tuhan tidak mempercepat kematian dengan mendaki gunung, dan tidak memperlambat kematian dengan tidak mendaki gunung, Tuhan akan bersama orang-orang yang pemberani" [terpahat di suatu tugu memoriam menuju puncak Lompobattang] *** suatu jum'at bertanggal tiga belas. cerita bermula dari sakau mendaki yang menjadi-jadi, kejutan dari tamu tak diundang, hingga menunggu yang sangat membosankan. waktu terus berdetak dan menjelang gulita segalanya mulai berbalik menyenangkan. konsolidasi antara langit, bintang dan dingin malam itu sukses. saya bahagia! ya, esok hari saya akan kembali mengejar ujung-ujung langit. menuju satu titik lewat pijak payah dan lelah. berdiri sejajar awan, melihat bintang lebih dekat, bebas menghirup dalam-dalam udara tanpa polusi. sensasi luar biasa yang hanya bisa dirasakan ketika menapaki pasak-pasak bumi. ***