Langsung ke konten utama

Lima Juni di Pulau Osi

Lima Juni ke-duapuluhenam.

Hari menjelang siang, namun awan kelabu masih betah menggelayut di langit Waimital. Rintik gerimisnya sukses membuat saya galau semenjak pagi. Ah ya, untuk alasan pekerjaan sekarang saya berada di desa ini, tepatnya di kabupaten Seram Bagian Barat. Mess kantor sepi, hanya saya dan bapak penjaga mess. Sementara rekan yang lainnya sudah bertolak ke Ambon sejak kemarin. Untuk menyenangkan diri, saya berniat menjelajahi daratan Pulau Seram yang masih baru bagi saya ini.

Pulau Osi merupakan sebuah dusun di bagian barat Pulau Seram. Sudah diputuskan, saya akan kesana, sendiri! Untuk yang berangkat dari Pulau Ambon, kalian harus menyeberang laut menggunakan kapal Ferry dari pelabuhan Hunimua (desa Liang) untuk bisa sampai di pelabuhan Waipirit (Seram Bagian Barat). Harga tiket cukup terjangkau, Rp.13.500,-/orang. Sementara saya yang berangkat dari mess, yang letaknya cukup dekat dari Pelabuhan Waipirit, tinggal melanjutkan perjalanan darat sejauh 70 kilometer ke arah barat.

Perjalanan menuju Pulau Osi sangatlah menyenangkan. Pesona alam Pulau Seram yang masih alami berhasil membuat saya ‘norak-norak bergembira’ sepanjang jalan. Nyengir tak jelas, malah tak jarang saya berteriak di atas motor karena kegirangan. Seperti orang jatuh cinta! (ups..) Untungnya jalur Lintas Seram ini masih jauh dari kata ramai, jadi saya tak perlu khawatir disebut gila. Melewati beberapa perkebunan kelapa, pemukiman warga, jalan berliku khas pegunungan, mata saya terus dimanja pemandangan indah. Cuaca pun bersahabat. Masya Allah…keren! Tiba-tiba teringat bukit-bukit hijau di film anak Teletubbies, membuat saya ingin berucap: “Berpelukaaaann!” Ah, tapi kemudian saya sadar, saya sendiri.
Masya Allah!
Ada takjub di balik tikungan
Tiba-tiba pengen bilang: "Berpelukaaaann..."
Jalur Lintas Seram yang sepi
Sukses bikin saya norak diatas motor
Selfie sambil tancap gas :D
Berhenti di dusun Pelita Jaya, Pulau Osi sudah cukup dekat. Melewati jalanan sirtu (pasir-batu) sekitar 3 kilometer, sampailah saya di gerbang Pulau Osi. “Alhamdulillah, gak nyasar,” batin saya sambil tersenyum penuh kemenangan. Dari gerbang, ternyata masih ada jarak sekitar 3 kilometer lagi untuk sampai di dusun Pulau Osi. Satu-satunya akses adalah jembatan kayu yang merupakan hasil swadaya masyarakat yang kemudian diberi nama jembatan Karel Albert Ralahalu, sesuai nama Gubernur Maluku yang meresmikannya beberapa tahun lalu. Untuk kendaraan, hanya motor yang diizinkan melintas.  Oleh karena itu, bagi yang tidak ingin berjalan, sudah tersedia jasa ojek di depan gerbang.
Welcome to Pulau Osi
Disambut hutan mangrove
Memasuki gerbang, saya disambut populasi hutan mangrove (bakau) di sisi kanan-kiri jembatan. Pulaunya dikelilingi karang dan pasir putih, dengan perairan yang cukup dangkal ditumbuhi lamun.  Terdapat pula jejeran pohon kelapa, lengkap dengan tiupan angin pantai yang membuat saya betah berlama-lama menikmatinya. Jika ada yang ingin bermalam, terdapat pula fasilitas penginapan milik penduduk setempat. Harganya mulai dari Rp.100.000,-/malam.
Salah satu fasilitas resort di Pulau Osi
Ketika sedang asyik masyuk berfoto selfie, tiba-tiba seorang bapak bermotor berhenti di ujung jembatan. Beliau menawarkan diri untuk memotret saya dengan latar belakang pulau. Merasa tidak enak hati, saya menolak dengan halus. Tapi (sepertinya) si bapak tahu isi hati saya yang sebenarnya, maka beliau terus mendesak sampai akhirnya saya ‘terpaksa’ menerima tawarannya. Sekali jepret, cukup.

'Terpaksa', tapi girang -_-
Namun, dari situlah obrolan panjang kami bermula. Kami pun berkenalan. Pak Sainuddin namanya. “Pakai S ya, bukan Z”, katanya ketika saya hendak menyimpan nomor ponsel beliau. Beliau kemudian bercerita panjang lebar mengenai pulau, kondisi masyarakat, hingga menanyakan beberapa hal tentang saya. “Kamu sendirian kesini? Pacarnya mana, koq gak diajak?” Glek! Saya tercekat. Tidak perlulah kalian tahu apa jawaban saya atas pertanyaan beliau itu. Yang jelas, sebelum saya pamit pulang, saya berjanji akan datang kembali nanti, bersama pacar saya.

Sebagai kalimat penutup, jangan pernah takut melakukan perjalanan sendiri di tanah yang masih asing sekalipun. Karena sesungguhnya masih banyak orang baik yang bersedia membalas senyum ramahmu dan menjawab pertanyaan: “kalau mau ke tempat ini, lewat mana ya?”

Komentar

  1. Kak Yuuuun, bawa pacarnya ya ke Medan :p

    BalasHapus
  2. Masya Allah... keren, dan yang paling keren itu langitnya. langit sekeren itu belum pernah ku temui di jakardah...

    BalasHapus
  3. aaah jadi mupeng buat ngojeg lesana euy..

    BalasHapus
  4. Pemandangannya masih asri mbk,,, pinggir pantai nya juga ada hutan bakau, pemandangannya Indah :)

    BalasHapus
  5. kerennn foto2nya....
    obsesi fotoan di jembatan kayu kayak itu mbak :D

    BalasHapus
  6. Kau berhasil membuatku penasaran dengan Ambon, Yun! Haha..

    BalasHapus
  7. Pengin kesana lihat suasananya. Smoga 1 waktu bisa kesana backapackeran sama.... Heheh

    BalasHapus
  8. lha.... kalo datangnya ke sana sm saya... ntar dikira sy pacarnya lagi... :p

    BalasHapus
  9. subhanallah
    such a beautiful place.........

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ornamen Matahari

Salah satu contoh Ornamen Matahari di Lapangan Merdeka, Ambon (photo by clk7) Bagi yang pernah berkunjung atau tinggal di Maluku, pasti akrab dengan gambar dan corak seperti gambar di atas. Ya, ornamen tersebut mulai banyak digunakan pada beberapa bangunan maupun produk lokal Maluku, dengan beragam corak dan bentuk. Namun masih banyak orang, bahkan orang Maluku sendiri, yang belum mengetahui makna dan nilai filosofis yang terkandung di balik ornamen tersebut. Ornamen Matahari, dilambangkan sebagai simbol matahari yang di dalamnya memiliki makna simbolis keyakinan, pola pikir, norma, adat istiadat, dan tata nilai masyarakat Maluku, khususnya suku Alifuru di Pulau Seram.  Di masa lalu, ornamen matahari digunakan untuk tanda dekorasi pada tubuh pada saat upacara kakehan (ritual pemanggilan arwah), sesuai dengan latar belakang, kebudayaan, adat-istiadat dan tata kehidupan alam lingkungan, masyarakat Patasiwa Alifuru. Salah satu bukti bahwa ornamen ini sudah dikenal cukup lama, da

Lantern Festival

kalian pernah nonton film 'Tangled'? pasti tahu kan adegan pas Rapunzel sama Flynn lagi diatas perahu di tengah danau, sementara orang-orang di istana lagi melepaskan ribuan lentera cantik ke atas langit dengan harapan si Putri Rapunzel kembali ke istana. hwaa, sumpah...that's the best scene EVER!! kereen banget >.< pertamanya, gw kira acara 'lepas lentera' kayak gitu cuma ada di kartun doang. ternyata eh ternyata, di dunia nyata ini emang beneran ada lho. bahkan dijadiin festival! *terpukau* ya, namanya Lantern Festival atau yang biasa disebut Festival Lentera. festival ini merupakan acara menerbangkan lentera ke atas langit dengan tujuan mengharapkan hal-hal baik yang akan terjadi dalam hidup. festival kayak gini digelar di berbagai negara, seperti Cina, Taiwan, Inggris, Thailand, bahkan Indonesia. cuma bentuk kegiatannya aja yang agak beda. kalau di Cina atau Taiwan, festival ini digelar pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender Tiongk

Menuju Perut Besar (Gunung Lompobattang)

"Tuhan tidak mempercepat kematian dengan mendaki gunung, dan tidak memperlambat kematian dengan tidak mendaki gunung, Tuhan akan bersama orang-orang yang pemberani" [terpahat di suatu tugu memoriam menuju puncak Lompobattang] *** suatu jum'at bertanggal tiga belas. cerita bermula dari sakau mendaki yang menjadi-jadi, kejutan dari tamu tak diundang, hingga menunggu yang sangat membosankan. waktu terus berdetak dan menjelang gulita segalanya mulai berbalik menyenangkan. konsolidasi antara langit, bintang dan dingin malam itu sukses. saya bahagia! ya, esok hari saya akan kembali mengejar ujung-ujung langit. menuju satu titik lewat pijak payah dan lelah. berdiri sejajar awan, melihat bintang lebih dekat, bebas menghirup dalam-dalam udara tanpa polusi. sensasi luar biasa yang hanya bisa dirasakan ketika menapaki pasak-pasak bumi. ***