Langsung ke konten utama

Berjalan Lebih Jauh ke Banda Neira (Part 1)


Petang sebelum keberangkatan. Satu pesan masuk.
“Kamu mau ke Banda Neira?”
Saya tersenyum, lalu segera mengetik jawaban. “Ya, tentu saja mau.” Saya tahu pasti bukan jawaban macam itu yang dia inginkan, tapi saya tetap mengirimnya.
Tak lama berselang, dia membalas “Kapan mau ke sana?”
“Kapan kamu mau mengajak saya?” Saya balik bertanya sambil mengamati riuh ramai di hadapan saya. Pelabuhan Ambon malam ini sibuk sekali.
**

Selamat pagi, Banda Neira!

Perjalanan ke pulau ini sebenarnya telah saya impikan cukup lama. Semua bermula ketika sahabat saya bercerita tentang keeksotisan pulau yang dijuluki Nutmeg Island ini. Dan sejak itu pula kami berencana untuk menjelajahinya nanti, entah kapan. Tapi hidup memang seringkali dikelilingi hal-hal tak terduga. Saat kesempatan itu ada di depan mata, hanya dua pilihannya: take it or lose it. Saya memilih yang pertama. So now, here i am. Berdua, tapi bukan dengan sahabat saya itu. Menyapa subuh di pelabuhan Banda Neira yang masih diselimuti gelap, namun penuh hiruk pikuk.

Setelah menempuh perjalanan laut sekitar 8 jam dengan kapal Tidar kelas ekonomi yang harga tiketnya sekitar 100 ribuan untuk rute Ambon-Banda, akhirnya saya menjejak di pulau ini. Kapal yang saya tumpangi itu selanjutnya akan menuju Tual hingga Papua. Maka sampai 4 hari ke depan, sampai kapal tersebut kembali dengan rute sebaliknya, saya rasa tidak akan cukup untuk menikmati segala pesona kepulauan ini.

Dari pelabuhan, saya cukup berjalan kaki ke arah selatan mencari penginapan. Menyusuri jalanan kota Neira seolah menarik siapapun yang berkunjung untuk kembali ke masa lampau. Bangunan tuanya yang khas, menunjukkan bahwa kota ini pernah menjadi salah satu daya tarik bagi para saudagar Eropa untuk mengembangkan usaha dagang mereka. Bagaimana tidak, kekayaan rempah yang dimiliki pulau Banda ini seakan sudah tersohor, sehingga membuat Belanda, Inggris dan Spanyol berlomba-lomba untuk mengarungi samudera demi menjadi penguasa rempah di sini.
 
Jalanan Kota Neira
Sepuluh menit kemudian, sampailah saya di penginapan sederhana yang saya sewa dengan harga yang cukup pas di kantong, 100 ribu per hari. Bagian belakang penginapan berhadapan langsung dengan Gunung Api yang dibatasi oleh laut. Setelah rehat, saya memutuskan untuk berkeliling menonton kehidupan masyarakat setempat.
Pemandangan dari Belakang Penginapan
Di kota Neira ini, terdapat beberapa bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah, seperti benteng peninggalan penjajah juga tempat pengasingan para tokoh nasional. Untuk memasukinya memang tidak dikenakan biaya, namun harus cukup bersabar karena beberapa sering didapati dalam keadaan terkunci sehingga perlu menunggu sang penjaga datang membukakannya.

Benteng Nassau
Gerbang Masuk Benteng Nassau
Sekitar tahun 1607, terletak di atas bukit di pesisir selatan Pulau Neira, benteng ini dibangun di atas pondasi benteng Portugis yang tidak terselesaikan, menggunakan tenaga 700 orang prajurit Belanda yang dikomandani oleh Admiral Verhoef. Pembangunan benteng ini ditentang oleh rakyat Neira yang melakukan serangan gerilya kepada Belanda. Akibat serangan itu, Verhoef dan 34 prajuritnya terbunuh. Meskipun begitu, pembangunan benteng ini tetap selesai dan diberi nama Benteng Nassau atau Benteng Air.

Pada 8 Mei 1622, Benteng Nassau menjadi tempat pembantaian 40 Orang Kaya Banda yang melakukan perlawanan kepada VOC. Setelah mati, mayat mereka diceburkan ke dalam sumur tua yang letaknya tidak jauh dari Benteng Nassau dan dikenal sebagai Perigi Rante (Sumur Berantai). 
 
Reruntuhan Benteng Nassau
Benteng ini berbentuk persegi dengan bastion berbentuk hati pada setiap sudutnya dan dikelilingi oleh parit. Ketika Benteng Belgica diperkuat pada tahun 1672-1673, Benteng Nassau ini hanya digunakan sebagai penjara orang-orang buangan dari Batavia. Sekarang benteng ini hanya menyisakan 2 buah bastion dan 2 buah pintu gerbang dan beberapa meter dindingnya. Benteng ini mengalami kerusakan parah ketika diserang oleh Inggris pada tahun 1810 yang mengambil alih Benteng Belgica saat itu.

Benteng Belgica
Bagian Depan Benteng Belgica
Benteng ini dibangun untuk mengoreksi kekeliruan dalam pembangunan Benteng Nassau yang berlokasi di bibir pantai yang dengan mudah diserang melalui bukit yang lebih tinggi di belakangnya. Rakyat Neira yang terusir oleh Belanda ke pulau lain di sekitar Pulai Neira sering melakukan serangan gerilya dan menembaki Benteng Nassau dengan panah api dari atas bukit tersebut.

Untuk menghentikan perlawanan penduduk Neira ini, kemudian pada tahun 1611, Gubernur Jenderal Pieter Both menggagas pembangunan sebuah benteng pertahanan kecil di atas bukit itu, dengan ketinggian 30 meter di atas permukaan laut, dan diberi nama Belgica. Beberapa tahun kemudian dibangun lagi benteng kecil lain yang diberi nama Neira di puncak bukit yang sama. Pada tahun 1660, dua benteng kecil tersebut digantikan oleh sebuah redut yang lebih besar dan diberi nama Belgica II.
Struktur Benteng yang Berbentuk Pentagon
Pada Maret 1667, Admiral Cornelis Speelman tiba di Pulau Neira. Ia kemudian meminta kepada Adrian de Leeuw, seorang arsitek Belanda, untuk membuat rancangan benteng baru untuk pengembangan redut Belgica II; struktur pentagon dengan lima menara pada bagian dalam benteng, dan struktur pentagon lain dengan lima bastion di sisi luarnya. Pembangunan benteng ini berlangsung dari tahun 1672 hingga 1673 tanpa mengalami kendala yang berarti.
View dari Salah Satu Menara
Benteng Belgica versi ketiga ini dapat menampung 400 tentara yang dilengkapi berbagai persenjataan termasuk meriamnya. Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholz, namun sayangnya satu tahun kemudian benteng ini berhasil diserang dan direbut oleh Inggris yag kemudian menguasai Banda hingga awal abad ke-19.

Gereja Tua Neira
Gereja Tua Neira
Pada tanggal 20 April 1873, dibangun sebuah bangunan gereja yang kemudian diresmikan pada tanggal 23 Mei 1875 oleh dua orang Misionaris asal Belanda yaitu Maurits Lantzius dan John Hoeke. Bangunan gereja ini dibangun di atas pusara 30 orang prajurit Belanda yang gugur dalam perang penaklukan Banda, hal ini dibuktikan dengan adanya 30 batu nisan lengkap dengan identitas para prajurit tersebut pada lantai gereja. Hingga sekarang gereja ini masih digunakan untuk pelayanan umat Nasrani di Banda Neira.

Kompleks Istana Mini
Rumah Gubernur VOC
Istana Mini terdiri dari 2 bangunan yaitu Rumah Gubernur dan Kantor Gubernur. Kompleks bangunan ini menghadap ke arah laut, diapit oleh bangunan Sociteit Harmonie di sebelah barat serta rumah Deputi Gubernur VOC dan rumah para perkenier (sebutan bagi pemilik kebun pala) di sebelah timur. Berdasarkan catatan sejarah, bangunan yang terletak di dekat Benteng Nassau ini didirikan saat setelah terjadi gempa besar di Banda tahun 1683. Sebelumnya, Gubernur VOC tinggal dan berkantor di dalam benteng, tetapi karena dirasa sudah tidak aman untuk dihuni akibat gempa tersebut maka dibangunlah rumah tinggal dan kantor yang baru.

Sociteit Harmonie

Bangunan ini terletak di sebelah barat Kompleks Istana Mini. Pada masa lalu gedung ini merupakan salah satu gedung terbaik di kota Neira, bangunan mewah berlantai marmer dengan lampu gantung yang indah, dimana para pegawai sipil, militer, perkeniers dan para bangsawan lainnya berkumpul untuk menikmati minum teh sore, main kartu atau berbincang-bincang. Saat-saat tertentu diadakan perjamuan dan pesta dansa serta pertunjukan musik atau drama. Sekarang bangunan ini tampak kurang terawat dan kosong.

Rumah Pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir
 
Rumah Pengasingan Bung Hatta

Ruang Kerja Bung Hatta

Bung Hatta dan Sjahrir tiba di Banda tanggal 11 Februari 1936 dan untuk sementara tinggal di rumah Dr. Tjipto Mangunkusumo. Satu minggu kemudian mereka ke tempat tinggal masing-masing yang disewa dari seorang perkenier f 12,50 ($ 5,00) per bulan. Rumah pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir tersebut berbatasan langsung dengan penjara di sebelah timurnya. Sipir penjara berkebangsaan Belanda bertugas untuk melayani kebutuhan pokok mereka setiap saat. Rumah tersebut hanya dipisahkan oleh sebuah jalanan sempit dari rumah sakit dan hanya beberapa menit dari rumah dan kantor kontrolir (Kompleks Istana Mini). Mereka tinggal bersama hingga beberapa bulan kemudian Bung Sjahrir memutuskan untuk pindah ke rumah yang lain.

Rumah Pengasingan Bung Syahrir
Bangunan rumah pengasingan Bung Hatta menghadap selatan dan terletak di belakang Kompleks Istana Mini. Keseluruhan bangunan ini dibangun diatas lahan seluas 1000 m2 dengan luas bangunan 441 m2. Terdiri dari 3 bangunan yaitu bangunan utama yang merupakan bangunan tempat tinggal, bangunan kedua berada di belakang bangunan utama yang merupakan tempat mengajar Bung Hatta dan bangunan ketiga merupakan bangunan dapur dan gudang.

bersambung...

Komentar

  1. Kereeeeeeen Yun! Banyak obyek fotografinya kotamu.
    Tanganku gatal tuk jepret-jepret di sana.. :D

    BalasHapus
  2. wow jalan-jalan, wow jalan jalan
    kerren.....more pic :D
    sepi ya...coba deket, pengen berkunjung...

    BalasHapus
  3. Pengen ke Banda Naira. Aaaaakkk

    BalasHapus
  4. duuuh, diriku tak diajak (selalu) deh :p

    BalasHapus
  5. Salah satu tempat yang ingin sy kunjungi....baru tadi ngebahas tempat ini...hmmmm...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ornamen Matahari

Salah satu contoh Ornamen Matahari di Lapangan Merdeka, Ambon (photo by clk7) Bagi yang pernah berkunjung atau tinggal di Maluku, pasti akrab dengan gambar dan corak seperti gambar di atas. Ya, ornamen tersebut mulai banyak digunakan pada beberapa bangunan maupun produk lokal Maluku, dengan beragam corak dan bentuk. Namun masih banyak orang, bahkan orang Maluku sendiri, yang belum mengetahui makna dan nilai filosofis yang terkandung di balik ornamen tersebut. Ornamen Matahari, dilambangkan sebagai simbol matahari yang di dalamnya memiliki makna simbolis keyakinan, pola pikir, norma, adat istiadat, dan tata nilai masyarakat Maluku, khususnya suku Alifuru di Pulau Seram.  Di masa lalu, ornamen matahari digunakan untuk tanda dekorasi pada tubuh pada saat upacara kakehan (ritual pemanggilan arwah), sesuai dengan latar belakang, kebudayaan, adat-istiadat dan tata kehidupan alam lingkungan, masyarakat Patasiwa Alifuru. Salah satu bukti bahwa ornamen ini sudah dikenal cukup lama, da

Lantern Festival

kalian pernah nonton film 'Tangled'? pasti tahu kan adegan pas Rapunzel sama Flynn lagi diatas perahu di tengah danau, sementara orang-orang di istana lagi melepaskan ribuan lentera cantik ke atas langit dengan harapan si Putri Rapunzel kembali ke istana. hwaa, sumpah...that's the best scene EVER!! kereen banget >.< pertamanya, gw kira acara 'lepas lentera' kayak gitu cuma ada di kartun doang. ternyata eh ternyata, di dunia nyata ini emang beneran ada lho. bahkan dijadiin festival! *terpukau* ya, namanya Lantern Festival atau yang biasa disebut Festival Lentera. festival ini merupakan acara menerbangkan lentera ke atas langit dengan tujuan mengharapkan hal-hal baik yang akan terjadi dalam hidup. festival kayak gini digelar di berbagai negara, seperti Cina, Taiwan, Inggris, Thailand, bahkan Indonesia. cuma bentuk kegiatannya aja yang agak beda. kalau di Cina atau Taiwan, festival ini digelar pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender Tiongk

Menuju Perut Besar (Gunung Lompobattang)

"Tuhan tidak mempercepat kematian dengan mendaki gunung, dan tidak memperlambat kematian dengan tidak mendaki gunung, Tuhan akan bersama orang-orang yang pemberani" [terpahat di suatu tugu memoriam menuju puncak Lompobattang] *** suatu jum'at bertanggal tiga belas. cerita bermula dari sakau mendaki yang menjadi-jadi, kejutan dari tamu tak diundang, hingga menunggu yang sangat membosankan. waktu terus berdetak dan menjelang gulita segalanya mulai berbalik menyenangkan. konsolidasi antara langit, bintang dan dingin malam itu sukses. saya bahagia! ya, esok hari saya akan kembali mengejar ujung-ujung langit. menuju satu titik lewat pijak payah dan lelah. berdiri sejajar awan, melihat bintang lebih dekat, bebas menghirup dalam-dalam udara tanpa polusi. sensasi luar biasa yang hanya bisa dirasakan ketika menapaki pasak-pasak bumi. ***