Langsung ke konten utama

Latimojong, Another Hike Story

11 September 2011
Petualangan baru dimulai. Target kali ini adalah puncak tertinggi di dataran Sulawesi. Puncak Rantemario di pegunungan Latimojong yang memiliki ketinggian 3478 mdpl. Bukan hal gampang, terutama buat saya yang sudah lama alpa dari latihan fisik. Tapi pada kenyataannya, pagi itu saya nekat tetap berangkat. Berjumlah 7 orang, kami bersesakan dengan tas carrier selama 8 jam dalam mobil yang mengantar kami menuju Enrekang. Dua orang lainnya berangkat sehari sebelumnya.
kiri-kanan: nunung, hera, ria, saya, pak nas, kak ishak, parman
Sore hari, kami tiba dengan selamat di rumah salah satu tim (Mori) di Desa Kalimbua setelah disuguhi pemandangan indah kabupaten Enrekang. Sejuk dan damai, suasana yang jarang didapati di kota besar seperti Makassar. Sudah diputuskan, malam ini kami akan menginap dan baru akan memulai perjalanan esok pagi.

12 September 2011

dari Gura menuju Karangan
Anggota tim pendakian yang fix berangkat berjumlah 12 orang. Mereka adalah Pak Nas, Habib, Parman, Kak Ishak, Mori, Kautsar, Sidik, Calu, Hera, Ria, Nunung dan saya sendiri.

Sebelum subuh, kami sudah bangun untuk bersiap. Kata Mori, sebelum jam 6 pagi akan ada angkutan yang bisa mengantar kami sampai ke desa Gura. Dan benar saja, 10 menit sebelum jam 6 angkutan tersebut sudah ada di depan rumah kami. Setelah menaikkan seluruh carrier ke atas mobil, kami pun berangkat. Waktu tempuh yang dibutuhkan angkutan menuju desa Gura sekitar 15 menit. Sesampainya di sana, kami briefing sebentar sebelum akhirnya meneruskan perjalanan menuju desa Karangan, yaitu desa terakhir sebelum memulai pendakian.

Well, sebelum berangkat saya memang sudah mempelajari rute perjalanan lewat beberapa cerita maupun artikel di internet. Tapi kali ini benar-benar di luar dugaan saya. Menurut cerita seorang teman yang pernah kesana sebelumnya, pada hari-hari tertentu (biasanya disebut hari pasar) akan ada mobil hartop yang mengantar sampai desa Karangan. Tapi entah, hari itu kami tidak menemui 1 mobil pun yang melintas sepanjang jalan.

Dan akhirnya kemungkinan terburuk itu pun menjadi nyata. Kami harus berjalan kaki sekitar 10 jam (menurut kecepatan saya) melewati kontur jalan yang sebagian besar rusak dan ‘rata’ (rata-rata tanjakan) menuju desa Karangan! Jalur yang sangaaaaat  panjaaaaang dan melelahkaaaaan. Yang jika kami bandingkan dengan pendakian ke Bawakaraeng, maka kami sudah hampir menemui puncak dengan waktu dan jalur tempuh yang sama dengan ini. Tapi tak bisa dipungkiri, hal ini yang menjadikan perjalanan ini sangat ‘SESUATU’, hahaha…

Oke, setelah melewati entah berapa tanjakan, entah berapa turunan dan entah berapa dusun, akhirnya kami sampai juga di desa Karangan. Horeeee……betapa bahagianya diriku dan nunung! Maklum, kloter terakhir. Untung ada Mori, Sidik dan Calu yang menemani sejak kami berdua terdampar lama di pinggir kebun karena keenakan istirahat, bahkan sempat tidur sebentar.Huhuu…thanks guys ToT

Waktu menunjukkan pukul entah, yang jelas sore lah. Awalnya, kami berniat mandi setelah melakukan perjalanan seharian. Tapi rumah yang kami tempati tidak memiliki MCK alias kamar mandi. Oh tunggu dulu, ternyata semua rumah di desa ini bernasib sama. Haha…Jadi, jika ingin mandi atau buang ‘hajat’, kami harus ke sungai yang letaknya di jalan akses masuk desa. “Hmm..tidak, terima kasih! Kalau begini kondisinya, lebih baik saya istirahat saja langsung.” Petualangan yang sebenarnya baru akan dimulai besok.

13 September 2011
Pagi dingin di Karangan. Setelah packing ulang dan sarapan secukupnya, pendakian sesungguhnya pun dimulai. Tim menargetkan sampai di pos 5 sebelum sore, nge-camp disana, dan baru akan ‘muncak’ dini hari.

Perjalanan menuju pos 1 cukup panjang, memakan waktu sekitar 1,5 jam. Jalur masih terbuka, melewati perkebunan kopi dan tebing yang telah digunduli oleh warga untuk membuka ladang kopi yang baru. Sekitar jam 10, kami tiba di pos 1.

check point #1
Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Menuju pos 2, kami mulai memasuki kawasan hutan. Jalur agak sempit dan terjal, hanya bisa dilewati 1 orang. Kadang saya harus berpegangan pada akar pohon, agar tidak terperosok ke jurang yang ada di samping. Waktu tempuh menuju pos 2 juga sekitar 1,5 jam. Di pos 2 terdapat sungai yang cukup deras juga batu karang besar dengan tanah lapang kecil dibawahnya, sehingga lokasi ini biasa dijadikan tempat nge-camp bagi para pendaki.
buka bekal di pos 2
Dari pos 2 menuju pos 3 merupakan jalur paling terjal menurut saya. Mulai pos 2 ini, medan akan terus menanjak sampai ke puncak. Kondisi tanah yang mudah longsor dan terjal menjadi salah satu alasan jalur ini sulit ditempuh. Padahal menurut papan petunjuk di pos 2, jarak antara kedua pos ini hanya sekitar 600 m. Namun untuk sampai di pos 3, waktu yang saya butuhkan sekitar 1 jam.

Menuju pos 4, kondisi medan hampir sama dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Beberapa kali saya harus berhenti istirahat atau sekedar mengatur nafas. Wajar saja, suhu semakin rendah, kabut mulai menebal dan kadar oksigen menipis. Tidak boleh istirahat terlalu lama, perjalanan harus dilanjutkan. 

Pos 5 masih jauh. Badan mulai kedinginan, perut semakin lapar, kaki sepertinya hampir patah, tak kuat lagi melangkah. Setelah berjalan hampir 1 jam akhirnya, “Nung, pos 5 di depan. Cepatmi!”  Alhamdulillah, papan hijau bertuliskan “POS 5” sudah di depan mata.

kiri-kanan: kondisi pos 3 sampai pos 7
Pos 5 merupakan tanah lapang yang juga biasa dijadikan tempat nge-camp. Di sekitar sini juga terdapat sumber air, namun lokasinya lumayan jauh dan terjal. Ketinggian di pos 5 ini sekitar 2800 mdpl, hampir sama dengan ketinggian puncak gunung Bawakaraeng.
1 = penanda jalur; 2-8 = berbagai jenis jalur yang dilalui
Sesuai rencana awal, kami akan nge-camp disini. Tenda sudah terpasang, saatnya mengisi perut. Kali ini, giliran saya yang bertugas masak. Well, sebenarnya ini pengalaman pertama saya masak nasi pake nesting. Terlalu banyak air, alhasil nasi ‘hampir’ jadi bubur. Untungnya, yang lain tidak protes. Hahaha :D

Kampung tengah alias perut sudah aman, sekarang waktunya istirahat. Harus tidur cepat, karena kami akan jalan tengah malam nanti agar bisa melihat sunrise di puncak keesokan paginya. Saatnya masuk tenda dan tiduuuuurrrr……

14 September 2011
Pukul 1 dini hari, mulai terdengar suara Pak Nas yang membangunkan kami semua. Ya, ini saatnya muncak! Dari dalam tenda, saya mendengar rintik air yang jatuh mengenai tenda kami. “Jalan malam, hujan pula!” pikirku dalam diam, sambil terus berkemas mengisi barang-barang yang dirasa penting ke dalam backpack. Keluar tenda sambil memasang headlamp di kepala, saya disambut angin dingin pegunungan, kabut dan rintik air yang ternyata bukan hujan. Itu embun yang jatuh dari pepohonan, namun jumlahnya yang banyak sehingga menyerupai rintik hujan.

Anggota tim sudah standby di luar tenda. Masing-masing membawa senter dan headlamp. Briefing lagi. “Perhatikan jalur. Jaga jarak, jangan terlalu jauh” Kira-kira begitu arahan Pak Nas sebelum kami memulai perjalanan malam itu.

Ternyata, jalan malam memang beda dengan jalan siang. Kondisi hutan yang gelap dan lembab, meminta kita untuk berkonsentrasi lebih. Sepanjang jalan, hanya jalur setapak yang licin dan terjal yang ditemui. Suhu yang sangat dingin membuat jaket dan sarung tanganku basah. Namun, ada enaknya juga kita jalan dalam kegelapan seperti ini. Jarak yang jauh menjadi tidak terasa, karena tiba-tiba saja kami sudah sampai di pos 7, setelah sempat diguyur gerimis di perjalanan.

Hari menjelang subuh. Suhu tidak bisa lagi saya prediksikan, mungkin hampir 0 derajat. Pos 7 berupa tanah lapang yang terbuka. Tidak ada tempat untuk berlindung dari tiupan angin gunung yang dingin dan kencang. Jika biasanya kita melihat kabut bergerak pelan, disini kabut bergerak cepat. Seperti asap putih yang ditiup angin.
berbagai view dari pos 7
Di sini, kami bertemu dengan 2 orang pendaki yang sedang nge-camp. Mereka memberikan tumpangan istirahat pada kami (yang perempuan) dalam tenda mereka, sementara para lelaki mulai memanaskan air untuk minum. Setelah shalat subuh, kami bersiap meneruskan perjalanan. Harapan untuk melihat sunrise di puncak mulai sirna. Alam sedang tidak bersahabat. Sejauh mata memandang, hanya gumpalan kabut putih yang membatasi penglihatan kami. Namun, kami tetap bersemangat untuk mencapai puncak.

Jalur menuju pos 8 alias puncak agak sedikit berbeda. Sebenarnya jarak tempuh menuju puncak agak panjang, namun tidak dirasa jauh karena sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang indah dan menakjubkan. Bebatuan karang, padang lumut, udara berselimut kabut, semak belukar yang khas dan hamparan batu kaca membuat rasa lelah kami selama perjalanan hilang seketika.

menuju puncak

vegetasi tumbuhan
Di ujung jalan, kami di hadapkan pada persimpangan. Ada dua jalur, keduanya sama-sama jalur menuju puncak. Masih dalam satu deretan pegunungan Latimojong, namun puncaknya berbeda. Jalur ke kiri menuju puncak Rantemario, sedangkan jalur ke kanan menuju puncak Nenemori. Kami mengambil jalur kiri dan terus melangkah.

awas, salah jalur :)
Setelah berjalan hampir sekitar 2 jam, triangulasi puncak Rantemario mulai terlihat. Langkah kaki mulai dipercepat, dan akhirnya sampai juga kami pada titik tertinggi di seantero daratan Sulawesi. Ekspresi kebahagiaan mulai diluapkan dengan mengajak ‘tiang batu 1 meter’ itu berfoto bersama. Yeaah…we are the champion! \(^o^)/
puncak rantemario
Tidak disangka, akhirnya saya berhasil menjejak disini dan menjadi manusia tertinggi di Sulawesi. Namun tentu saja hal ini bukan untuk disombongkan. Karena jika dibandingkan dengan kebesaran Dia Sang Maha, diri ini tentu bukan apa-apa. Maka perjalanan ini, hanya suatu wujud refleksi atas kesyukuran kita. Atas hidup, atas alam dan atas bumi yang hanya kita singgahi sementara.
***
Terima kasih, teman seperjalanan.
Untuk canda, tawa dan cerita yang tercipta di antara kita.
Ku dapati sajak ini, ku persembahkan pada kalian.
 
Bila kita berpisah,
kemana kau aku tak tahu sahabat,
atau turuti kelok-kelok jalan,
atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan,
hanya bila kau lupa,
ingat…


pernah aku dan kau
sama-sama daki gunung-gunung tinggi,
hampir kaki kita patah-patah,
dan nafas kita putus-putus,
tujuan esa, tujuan satu
pengabdian, pengabdian kepada Yang Maha Kuasa
[ Idhan Lubis, rekan Soe Hok Gie]


kamar juang, 5 Oktober 2011
hampir sebulan setelah kisah kita bermula

***

Komentar

  1. keren.....
    sampai disana ndak kita nanti ?
    itu foto yang paling tinggi itu tuh ?
    ajak saya !
    ajak saya !
    =___=

    BalasHapus
  2. uchank: yg mau kita pergi nanti bukan disini. tp kl mau, kpn2 boleh lah kita kesini jg, hehe :D

    BalasHapus
  3. WUAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH daerahku memang kerennnnnnnnnnn saluuut buat kak yun, aku sendiri belum prnah kesana...hihih

    BalasHapus
  4. pokoknya AWAS kalau nanti mendaki gak ngajak2 saya !!
    bombee' ki' :P

    BalasHapus
  5. uthy: iy, daerahmu memang keren! thumbs up ^^d
    uchank: wuidiiih, ngancem nih ceritanya? haha...makanya, kasi jadimi yg akhir bulan ini nah. kl sm kalian, pasti lebih seru ;)

    BalasHapus
  6. Wuiiih tumbuhan2 yang tumbuh di sana kayaknya jarang saya lihat.. :D

    BalasHapus
  7. dari kamar juang, ini bermula,
    merangkai kata menjejak kisah.
    dan kuyakin ini bukan sekedar cerita,
    dan dari kibar kain segitiga oranye menyala, rasanya penjelajah bukan pejuang biasa..
    ada asa dalam hamasah, ada bara dalam semangat, tuk kibarkan panji kemenangan!
    meski sekedar simbol, sebagai tanda.

    pejuang bergerak dengan cita,
    membingkai ukhuwah dalam tadhiyah.

    BalasHapus
  8. onde mandeee.... sya sja blum pernah kesana.
    jauh bener langkahmu diks. :D

    nyebutin beberapa tempat dan sya saja tidak tau lewat mana itu. hahahhahah..
    apatis ma kampung sendiri.

    BalasHapus
  9. wah.. mantap yun..
    tambah semangat saya....

    hehehe

    BalasHapus
  10. ckckck...wajar klo Uchank memberimu gelar si Ratu Pegunungan dalam tulisannya dek :D

    semangat teruus untuk pendakiannya dek \(^_^)/

    BalasHapus
  11. Seorang pendaki akbar, Reinhold Messner berkata The mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are. Mountaineering is a game where you can’t cheat. More than that, what’s important is your determination cool nerves, and knowing how to make the right choice

    wuissshhhh... lengkap banget.... ceritanya bisa jadi referensi perjalanan nih bagi yang mau ke sana...

    BalasHapus
  12. Ceritanya bisa dianalogikan dengan kehidupan sehari-hari. Satu tujuan (puncak). Perjalanan menggapainya butuh perjuangan, yang berbeda-beda levelnya (pos 1-pos 8). Dengan warna dan cerita yang dihasilkannya juga sendiri-sendiri. Akhirnya, jika tabah melewati setiap tahapannya, Alhamdulillah bahagia deh. Sampai-sampai keluar komentar "We're the Champion" or bisa sedikit melow dengan puisi di atas. Hehehe..

    Keep Writing Yuni.

    BalasHapus
  13. keren.keren.kereeeen,smakin inginku mkssr \(>.<)/ smoga diberi waktu,rezeki dn kesempatan..benar2 sgt ingin ksana

    BalasHapus
  14. asop: hehe..y iylah, itu cm ad d gunung. eh, tp jgn coba2 cari edelweiss dsini, gak bakal dapet :D

    andry: haha..kau mengenali kain segitiga orange itu?

    k'acci: pizz kak, sy jg cm dikasi tau teman yg memang org sana ^^v

    arman-arya-k'uni: harus semangat lah. makanya sy mw ajak kalian, spy bs kalian rasakan sendiri sensasinya. satu ji pesanku : "hati2 ketagihan" hahaha :D

    k'sam: ^____^

    inayah: yuuk, mareeeeee :)

    BalasHapus
  15. Yuniiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...You make me Jealous....very jealous .. :(
    Tapi tulisanmu betul - betul memotivasi saya untuk do it... Ayo..kapan kita berangkat?? #halah Gayya.. ^_^

    BalasHapus
  16. ya kenal laah..
    para pejuang akan mengerti arti disebalik orange itu.. hehe.
    kain segitiga itu selalu menemani.
    mulai dari aksi dijalanan, sampe aksi naik gunung burangrang.. :)

    salam kenal dari Bandung.

    BalasHapus
  17. wiiihhh...perjalanan yang kereeeennn,,,,cooolll,,amazing...aku suka!
    aku suka dengan keindahan pegunungan yg tak terbatas nilainya....subhanallah...pengen naiiiik gunung nih jadinya!!! heu,,,heu

    BalasHapus
  18. Keren banget,,, saya seumur2 daki gunung baru sekali... dan itu pun gak mau lagi karena ada beberapa kejadian tidak mengenakan waktu itu.
    Tapii... pas baca postingan ini, hwaaa... kok jadi pingin lagi ya??? Hehe,,,

    Salam kenal. :)

    BalasHapus
  19. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam Giveaway: Popcorn's 2nd Anniversary, Yuni,. Sudah saya catat :)

    BalasHapus
  20. keren banget artikelnya mba...latimojong salah satu kebanggan enrekang khususnya kami orang baraka...walaupun nda pernah kesana..tp mudah2an saja selesai lebaran bisa kesana,,,amiin..........

    BalasHapus
  21. Wah, subhanallah... keren. Good experience. Inshaa ALLAH, Kami akan menyusuri jejak-jejak kakak n teman" yg udah ditinggalkan di sepanjang jalan hingga puncak...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ornamen Matahari

Salah satu contoh Ornamen Matahari di Lapangan Merdeka, Ambon (photo by clk7) Bagi yang pernah berkunjung atau tinggal di Maluku, pasti akrab dengan gambar dan corak seperti gambar di atas. Ya, ornamen tersebut mulai banyak digunakan pada beberapa bangunan maupun produk lokal Maluku, dengan beragam corak dan bentuk. Namun masih banyak orang, bahkan orang Maluku sendiri, yang belum mengetahui makna dan nilai filosofis yang terkandung di balik ornamen tersebut. Ornamen Matahari, dilambangkan sebagai simbol matahari yang di dalamnya memiliki makna simbolis keyakinan, pola pikir, norma, adat istiadat, dan tata nilai masyarakat Maluku, khususnya suku Alifuru di Pulau Seram.  Di masa lalu, ornamen matahari digunakan untuk tanda dekorasi pada tubuh pada saat upacara kakehan (ritual pemanggilan arwah), sesuai dengan latar belakang, kebudayaan, adat-istiadat dan tata kehidupan alam lingkungan, masyarakat Patasiwa Alifuru. Salah satu bukti bahwa ornamen ini sudah dikenal cukup lama, da

Lantern Festival

kalian pernah nonton film 'Tangled'? pasti tahu kan adegan pas Rapunzel sama Flynn lagi diatas perahu di tengah danau, sementara orang-orang di istana lagi melepaskan ribuan lentera cantik ke atas langit dengan harapan si Putri Rapunzel kembali ke istana. hwaa, sumpah...that's the best scene EVER!! kereen banget >.< pertamanya, gw kira acara 'lepas lentera' kayak gitu cuma ada di kartun doang. ternyata eh ternyata, di dunia nyata ini emang beneran ada lho. bahkan dijadiin festival! *terpukau* ya, namanya Lantern Festival atau yang biasa disebut Festival Lentera. festival ini merupakan acara menerbangkan lentera ke atas langit dengan tujuan mengharapkan hal-hal baik yang akan terjadi dalam hidup. festival kayak gini digelar di berbagai negara, seperti Cina, Taiwan, Inggris, Thailand, bahkan Indonesia. cuma bentuk kegiatannya aja yang agak beda. kalau di Cina atau Taiwan, festival ini digelar pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender Tiongk

Menuju Perut Besar (Gunung Lompobattang)

"Tuhan tidak mempercepat kematian dengan mendaki gunung, dan tidak memperlambat kematian dengan tidak mendaki gunung, Tuhan akan bersama orang-orang yang pemberani" [terpahat di suatu tugu memoriam menuju puncak Lompobattang] *** suatu jum'at bertanggal tiga belas. cerita bermula dari sakau mendaki yang menjadi-jadi, kejutan dari tamu tak diundang, hingga menunggu yang sangat membosankan. waktu terus berdetak dan menjelang gulita segalanya mulai berbalik menyenangkan. konsolidasi antara langit, bintang dan dingin malam itu sukses. saya bahagia! ya, esok hari saya akan kembali mengejar ujung-ujung langit. menuju satu titik lewat pijak payah dan lelah. berdiri sejajar awan, melihat bintang lebih dekat, bebas menghirup dalam-dalam udara tanpa polusi. sensasi luar biasa yang hanya bisa dirasakan ketika menapaki pasak-pasak bumi. ***