Dear Ramadhan,
Dua hari lagi, udah tanggal 10 September di kalender masehiku. Kemungkinan juga lebaran akan jatuh pada tanggal segitu. Ya, 1 Syawal 1431 hijriyah. Cepet banget ya. Gak terasa kalo sudah hampir sebulan kita bersama. Dan parahnya, aku baru sadar pas udah hampir di penghujung waktu bersamamu.
Hmm..tentu kau yang paling tahu tentang hari-hariku yang biasa-biasa saja selama bersamamu. Ah, malu aku jadinya kalau mengingatnya kembali. Tentang target-target yang kubuat ketika kau pertama kali datang, tak sepenuhya aku penuhi. Bahkan sepertinya, sebagian pun tidak.
Misalnya saja ketika kutulis target akan menemui dhuha setiap hari di awal pagi. Aku ingkar, karena aku masih tidur saat itu. Terlalu banyak makan saat sahur membuat mataku ingin tertutup lagi setelah subuh berlalu. Juga dengan tarawih yang keteteran karena aku sibuk di luar sana, sibuk yang tak jelas tujuannya. Apalagi dengan tilawahku, yang selama bersamamu pun tak bisa ku-khatam-kan walau satu kali. Ah, banyak sekali Ramadhan. Semakin kutulis, semakin membuka aibku.
Dear Ramadhan,
Tentu kau tahu bahwa aku sebenarnya sangat senang bisa berjumpa lagi denganmu. Makanya aku membuat target-target itu saat menyambutmu, agar pertemuan kita tak sia-sia. Tapi untuk ke sekian kalinya, aku khilaf lagi. Tak pernah sadar bahwa tahun depan belum tentu Allah mengizinkan kita bisa bertemu lagi.
Dalam pekan pertama pertemuan kita, sungguh aku telah berusaha sebaik mungkin untuk mengoptimalkan kebersamaan kita. Pekan kedua, kurasa aku tak lagi istiqomah dengan komitmen yang kubuat sendiri. Masuk pekan ketiga, aku merasa kau mulai ‘ilfil’ padaku. Wajar, aku terlalu sering berjanji padamu, tapi jarang sekali kutepati. Lalu, hari-hari selanjutnya kau yang lebih tahu.
Dear Ramadhan,
Awalnya aku agak bingung dengan kegelisahanmu. Padahal aku hanya meng-sms keluarga dan beberapa teman setiap harinya untuk berbagi renungan harian selama bersamamu. Itupun sebagian besar aku copas dari buku yang kubaca. Aku juga menuliskannya di fesbuk sebagai statusku. Tapi, semakin hari aku semakin bingung. Jujur, kegelisahanmu itu agak menggangguku.
Tapi kini, aku baru paham makna gelisahmu. Kau gelisah, melihatku sibuk dengan HPku setiap hari. Kau gelisah, untuk setiap ‘send’ dan ‘share’ yang ku-klik. Kau gelisah, karena untuk setiap sms yang kukirim dan status yang ku-update itu, aku tidak merenunginya terlebih dahulu. Seolah kau ingin berkata, “Ingat Cahaya, kabura maqtan ‘indallahi an taquulu maa laa taf'aluun! Murka Allah bagi mereka yang berkata namun tak melaksanakannya!!”
Kau bingung melihat aktivitasku yang kebanyakan sia-sia, yang memberatkan kelopak mata, yang melemahkan tulang, yang melalaikan jiwa dari mengingat-Nya. Ya, aku sibuk menghadiri berbagai undangan buka puasa dimana-mana dan oleh siapa saja. Aku juga sibuk jualan, ngobrol ngalor ngidul, begadang nonton film, dengerin lagu-lagu, dan lain sebagainya hingga akhirnya aku terkapar kelelahan dalam kealpaan bersamamu.
Kau pun kembali berkata, “Apa yang kau lakukan, Cahaya? Kenapa kau justru terlelap saat kita bersama? Lupakah kau pada janji-Nya yang akan melipatgandakan pahala segala amalan, selagi kita bersama? Bangun Cahaya, bangun!! Sungguh, jika aku tahu akan diperlakukan seperti ini, aku akan meminta kepada Allah untuk tidak mempertemukan kita.”
“Coba lihatlah Al-Quranmu itu. Untuk ukuran dirimu, ia terlalu berdebu untuk dibiarkan sehari saja. Lihat juga buku-buku yang berjejer menunggu gilirannya untuk dibaca, sesuai targetanmu itu. Sesibuk itukah dirimu, hingga di penghujung kebersamaan kita ini kau hanya meng-khatam-kan dua buah buku?”
“Bagaimana dengan hafalanmu, Cahaya? Bukankah kau berniat untuk menghafal 2 juz selama kita bersama? Lalu dengan qiyam-mu, kenapa kau pernah meninggalkannya? Cahaya, masih ingatkah kau dengan targetmu yang lain? Tentang infaq itu, tentang silaturahim itu, tentang memberikan ifthor itu, tentang i’tikaf itu. Masih ingatkah kau pada mereka? Apa aku harus sampai bilang, betapa payahnya dirimu?”
Dear Ramadhan,
Rasanya mau nangis saat kau menegurku sedemikian rupa. Apalagi teguran itu baru kau katakan di penghujung pertemuan kita. Berkaca-kaca mataku ini, membayangkan kau benar-benar meminta kepada Allah untuk tidak mempertemukan kita lagi tahun depan.
Maafkan aku ya Ramadhan. Aku banyak salah sama kamu. Aku sibuk melakukan yang lain daripada bermesraan bersama-Nya saat kau ada. Tapi rasanya berjuta maaf pun tak cukup untuk menggantikan semuanya. Memang sih, harusnya hari ini aku mulai meminta maaf pada keluarga, saudara dan sahabat. Tapi, lebih dulu aku mau minta maaf sama kamu.Sekali lagi, maaf ya Ramadhan.
Dear Ramadhan,
Jika tahun depan Allah mengizinkan kita bertemu lagi, aku janji deh, Insya Allah aku akan memperbaiki semua kesalahanku tahun ini. Hingga saat itu tiba, aku akan berusaha untuk terus memperbaiki diri.
***
Makassar, 8 September 2010 / 29 Ramadhan 1431 H
Komentar
Posting Komentar